Menatap langit malam ini, walau tak ada apa-apa menemani gelapnya. Tak bulan, tak juga bintang. Langit hanya berisi gelap, kosong, sekosong hatiku yang terpaku menatap gelapnya.
Bukan pesona langit yang menahanku berdiri menengadah menatap ke arahnya malam ini. Aku menatap langit sambil diam-diam mengulang doa dalam hati, berharap sebuah cahaya putih yang baru saja kulepas pergi dan menghilang di ujung langit kembali muncul, mendekat, lalu tersenyum ke arahku.
Cahaya yang kutunggu ini bukan bintang, bukan juga ekor komet. Cahaya ini adalah belahan hatiku, atau mungkin lebih tepat jika aku menyebutnya ‘hatiku’ saja. Karena sepeninggal cahayanya yang kusaksikan menghilang di ujung langit -entah sudah berapa lama- aku hanya mampu berdiri terdiam, tak bergerak, tak melakukan apa-apa, selain tetap memandang langit, sambil terus-terusan merapal harap agar dia kembali muncul, memutar haluan, berubah pikiran, lalu berbalik ke arahku.
***
Aku ingin mengejar mimpiku, menjelajahi konstelasi, membangun rumah indah di Jupiter, lalu sesekali pelesir ke venus jika penatku datang.”
lelaki itu memecah keheningan di antara kami suatu hari, saat kami asik menjalankan kegiatan kesukaan kami, memandang langit penuh bintang. Pernyataan yang membuat aku kaget hingga tersedak air liurku sendiri. Akhir-akhir ini penduduk bumi memang berbondong-bondong pindah ke Jupiter. Bumi katanya bukan lagi tempat yang nyaman untuk ditinggali, terlebih sejak isu pemanasan global ramai jadi bahan pembicaraan di mana-mana.
“Jupiter?
Kenapa harus begitu jauh? Kenapa tak di sini saja kau bangun rumahmu, lalu aku menemanimu pelesir kapanpun kau merasa bosan?” Jawabku sambil masih terbatuk-batuk mengatur nafas, setengah panik, setengah berharap dia bercanda barusan.
Aku takkan sekaget ini jika yang mengatakan ini adalah orang lain, yang hanya gemar bermimpi, dan tak benar-benar yakin akan mimpinya. Masalahnya kalimat mengejutkan itu baru saja kudengar dari mulut lelaki paling ambisius yang pernah kutemui dalam hidupku, dan jika dia mengatakan bahwa dia ingin sesuatu, maka akan dikejarnya keinginannya itu sampai dia benar-benar mendapatkannya.
“Aku sudah muak tinggal di bumi. Muak melihat kekacauan di planet biru ini. Di sini, yang benar diperlakukan sebagai pendosa, dan yang bersalah justru mati-matian dipuja dan dihormati, yang rasanya membuat nuraniku tak lagi tentram. Teriakanku tak terdengar, dan aku lelah melihat semuanya berjalan salah. Aku harus mencari rumah baru yang memberiku rasa tentram dan kenyamanan. Dan kabarnya, Jupiter memiliki itu semua. Planet hijau itu kini kuidamkan untuk jadi tempatku beranjak tua.” Jelasnya panjang lebar dengan intonasi yang menggebu-gebu, bak aktivis yang hobi orasi di pelataran gedung hijau, semangat yang menyebabkan aku hilang kata.
“Benar-benar harus sebegitu jauh?” Tanyaku akhirnya, memecah kesunyian yang tercipta semenjak dia mengakhiri pernyataan menggebunya soal bumi yang tak lagi nyaman untuk nuraninya.
“Ya!” Jawabnya sambil mengangguk mantab. “Dan sesungguhnya ini bukan tentang jarak, ini tentang petualangan, petualangan menemukan tempat yang membuat nurani kita tentram. Karena jika bukan aku, tak ada seorang pun yang akan mendengarkan nuraniku. Dan jika nurani ini mendambakan petualangan, maka akan kuajak dia berpetualang.”
katanya sumringah dan penuh semangat, sambil merenggangkan kedua tangannya seolah memeluk langit luas.
“Lalu aku bagaimana? Kalau kamu pergi, aku sendiri.“
Kuungkapkan juga akhirnya ketakutanku. Dia lalu menoleh memandang wajahku, lalu tersenyum dengan senyuman menenangkan. Rupanya kekhawatiranku tertangkap oleh radarnya. Ya, memang selain ambisius, lelaki di sampingku ini mempunyai radar hebat yang mampu mendeteksi perasaan orang lain, kadang terkesan sok tahu, walau seringnya benar.
“Kamu bisa ikut aku, kita bangun rumah kita di sana, berdua.“
Aku terdiam. Dia masih tersenyum. Aku memalingkan wajah, lalu sunyi kembali menguasai. Memberikan aku dan dia waktu untuk sibuk dengan pikiran kami masing-masing. dan di sela-selanya, aku mencari cara untuk coba menahannya dari pergi jauh ke planet hijau dambaannya.
“Entahlah!” kataku akhirnya kembali memecah keheningan. “Di sana kau mungkin akan kesulitan menemukan mie pangsit dan ayam goreng kesukaanmu.”
Dia tertawa, lalu menjawab sambil bercanda. “Tidakkah kau tahu, planet hijau itu planet mimpi. Hal yang katanya tak mungkin di bumi, bisa terjadi di sana. Di halaman rumahku nanti, akan kubangun rumah kaca, tempatku menyilangkan berbagai jenis tanaman, hingga kudapati satu yang berbuah mie pangsit dan ayam goreng di pucuk-pucuk pohonnya. Jadi ketakutanmu itu bukan masalah bagiku.” katanya masih tertawa.
Tawanya membuat aku frustasi. Sepertinya dia benar-benar tak lagi mudah digoyahkan. Dan aku? Ah, aku ini wanita pengecut. Jangankan berpetualang ke lain planet, saat ditantang pergi ke negara asing hanya bermodal ransel dan uang secukupnya pun aku sudah mentah-mentah menolak. Tak apalah jika tantangan itu berlaku di wilayah negara yang masih berbendera merah putih ini, setidaknya masih kumengerti bahasa penduduk-penduduknya. Tapi jika harus mengadu nasib tanpa benar-benar tahu cara berkomunikasi, aah, maaf-maaf saja, aku tak bernyali.
Dan jika untuk itu pun tak mampu kukumpulkan nyaliku, maka bagaimana dengan ini, lelaki ini menantangku melintas planet, berpetualang katanya. Mungkin petualangan baginya, tapi itu absurd bagiku. Aku menyebut diri sendiri konservatif, gak neko-neko. Walau kebanyakan orang lebih setuju menyebutku pecundang. Dan ini pula yang membuat mereka berani bertaruh bahwa hubunganku dengan lelaki petualang ini takkan bertahan lama, karena kami dinilai terlalu berbeda, walau akhirnya kami membuktikan bahwa mereka salah, setidaknya sampai saat ini, saat dia mengungkapkan rencananya pindah ke Jupiter.
“Tak bisakah kau pikirkan lagi rencanamu itu? Aku tak tahu bagaimana melanjutkan hidupku tanpa pembicaraan panjang kita di bawah langit berbintang. Aku tak tahu cara memejamkan mata tanpa dongeng panjang yang kau ceritakan setengah berbisik di ujung telepon, yang baru kau hentikan saat aku terlelap. Aku tak tahu…“
Aku tak mampu menyelesaikan kalimatku. Tenggorokanku tercekat. Air menggantung di pelupuk mataku. Tak pernah aku sampai lepas menangis di hadapannya, tapi kali ini, biarlah kuabaikan ego wanitaku, jika saja air mata ini mampu menahannya dari petualangan absurdnya. Karena jujur saja, walau hati ini terlanjur jadi miliknya, terlalu berat mengorbankan diri meninggalkan tanah lahirku demi memuaskan mimpi lelaki kecintaanku ini.
“Kamu akan baik-baik saja!” katanya tersenyum
“Aku takkan baik-baik saja” jawabku dengan suara tertahan
“Kamu akan baik-baik saja!” katanya sekali lagi, meyakinkan, walaupun kulihat matanya pun mulai berkaca-kaca.
Mimpiku adalah membangun rumah kami di sini, di bawah langit yang katanya memanas, di atas negeri yang katanya semerawut, bersama dia. Menjadi tua bersama, menjadi saksi setiap helai rambutnya hitam lebatnya yang menipis dan berubah abu-abu. Hingga pada suatu hari kembali menyatu bersama tanah tempat aku dilahirkan. Sedangkan mimpinya adalah berpetualang, menjelajahi dunia, planet, dan jika tak juga puas, bisa jadi dia kemudian akan berpindah dari satu galaksi, ke galaksi yang lain. Hingga pada masanya nanti petualangannya terhenti, entah di mana.
Dan aku percaya, tak ada mimpi yang boleh dikorbankan. Jika kemudian mimpi kami berbeda, tak ada yang boleh saling menahan mimpi, betapa pun besarnya cinta yang terlanjur tumbuh subur.
Maka dengan iringan air mata, aku lepas dia terbang melintas langit, menuju Jupiter, planet hijau, rumahnya yang baru.
***
Air mataku sesungguhnya sudah mengering, entah sejak kapan. Tapi tubuhku masih di sini, berdiri di tempat aku terakhir melambaikan tangan, mengucap selamat tinggal sambil berkali-kali menyeka ujung mata yang basah, mengulang-ngulang doa agar dia kembali. Di sana, di planet hijau, bisa jadi dia sedang sibuk menyilang pohon yang satu dengan yang lain, sambil sesekali mendendangkan lagu ceria dari bibirnya yang merah. Atau, bisa jadi, dia justru sudah berhasil menemukan varian pohon baru, dan saat ini sedang sibuk memanen mie pangsit dan ayam goreng dari pohonnya.
Sosoknya melekat di otakku, selekat lintah-lintah yang menempel di kaki para ibu yang sibuk mencuci di pinggir kali. Dan aku tak henti mengharap pada Tuhan untuk menghadirkan aku di otaknya, agar siapa tahu dia berubah pikiran, lalu memutuskan kembali pulang, bertemu aku.
Semoga
***
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapuswaw,, what a wonderful story., i love this one.,
BalasHapuslalu bagaimana dengan kamu? apakah kamu kukuh akan tinggal di Bumi yang nyaris penuh sesak itu? padahal lelaki pujaan kamu itu telah meyakinkan kamu bahwa ada berjuta harapan di Jupiter,..?
tulisan yang bagus.,,
trims,,
BalasHapuskalau kamu suka,,,,
selama orang yang saya cintai sudah betul2 memastikan bahwa di jupiter ada kehidupan yang lebih bagus dari pada di bumi,,nggak ada salahnya saya mencoba kesana,,,
andai aku seperti sosok pria yang penuh optimisme itu.,
BalasHapuspasti kamu bisa,,, kalau mau berusaha menjadi seperti dia,,,,,
BalasHapus